PENGARUH DUKUNGAN INFRASTRUKTUR, BEBAN KERJA ADMINISTRATIF, DAN INTEGRASI PROGRAM PROLANIS TERHADAP IMPLEMENTASI PELAYANAN FARMASI KLINIS DIABETES (STUDI KUANTITATIF PADA APOTEKER PUSKESMAS DI INDONESIA)
Main Article Content
Abstract
Manajemen Diabetes Melitus (DM) di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) Indonesia menghadapi tantangan signifikan terkait kesenjangan antara bukti ilmiah dan praktik di lapangan. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan efektivitas pelayanan farmasi klinis dalam meningkatkan luaran terapi pasien DM, namun implementasinya di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara kuantitatif pengaruh faktor-faktor sistemik yang terdiri dari dukungan infrastruktur, beban kerja administratif, dan tingkat integrasi dalam Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS) terhadap implementasi pelayanan farmasi klinis untuk pasien DM oleh apoteker di Puskesmas. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan asosiatif-kausal melalui desain survei cross-sectional. Sampel penelitian terdiri dari 250 apoteker Puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner daring terstruktur dengan skala Likert, dan data dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian simulasi menunjukkan bahwa dukungan infrastruktur (p<0.05) dan integrasi program PROLANIS (p<0.001) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap implementasi pelayanan farmasi klinis. Sebaliknya, beban kerja administratif (p<0.05) terbukti memiliki pengaruh negatif yang signifikan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa integrasi dalam program PROLANIS merupakan variabel prediktor yang paling dominan dalam mendorong praktik klinis. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa upaya untuk menjembatani kesenjangan praktik memerlukan intervensi kebijakan yang sistemik. Peningkatan implementasi pelayanan farmasi klinis tidak cukup hanya dengan pelatihan apoteker, melainkan harus didukung oleh kebijakan yang mewajibkan penyediaan infrastruktur yang memadai, seperti ruang konseling privat, serta reformulasi alur kerja untuk mengurangi beban tugas non-klinis. Rekomendasi utama adalah perlunya revisi fundamental pada pedoman PROLANIS untuk secara eksplisit mendefinisikan, mewajibkan, dan memberikan model remunerasi bagi layanan kognitif yang dilakukan oleh apoteker, sehingga mentransformasi peran mereka dari fungsi logistik menjadi penyedia layanan klinis yang integral dalam sistem kesehatan primer nasional.
Downloads
Download data is not yet available.
Article Details
Section
Articles

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.